Cerita tentang driver LED dan secuplik EMC nya

Dalam posting kali ini saya akan berbagi tentang pengalaman merancang driver LED. Tulisan ini mengacu pada artikel ilmiah yang kami tulis di sini dan di sini. Tapi dalam posting ini saya akan lebih banyak cerita proses ‘behind the scene‘ nya.

Ada istilah driver LED dan power supply LED. Sama atau beda? Sebetulnya, keduanya sama-sama berfungsi untuk menyalakan lampu LED. Tapi power supply biasanya merujuk ke alat catu daya konvensional yang tegangan output nya konstan (constant voltage atau CV) dan arus output nya mengikuti permintaan load. Contoh power supply misalnya charger HP 5V, charger laptop 19V, dsb. Sedangkan driver LED merupakan alat catu daya yang arus output nya konstan (constant current atau CC) dan tegangan outputnya menyesuaikan permintaan load, yang dalam hal ini forward voltage (Vf) LED.

Penggunaan driver LED merupakan cara yang lebih aman untuk menyalakan LED, terutama untuk lampu LED dengan watt besar (high power LED). Mengapa? Karena:

  1. Sebagian besar energi listrik (70-80%) terbuang menjadi panas, 20-30% yang dikonversi menjadi cahaya. Panas buang ini menaikkan suhu LED.
  2. Kenaikan suhu menurunkan forward voltage (Vf) LED. Setiap kenaikan 1oC, Vf menurun sebesar 1.5mV-5mV.
  3. Penurunan Vf akan menaikkan forward current (If) jika catu daya nya adalah constant voltage.
  4. Kenaikan If kemudian kembali menaikkan suhu LED. Ini merupakan feedback positif yang akan terus menaikkan suhu LED sampai pada titik keseimbangan dengan kecepatan pendinginan. Jika pendinginan kalah cepat, maka LED akhirnya akan mengalami kerusakan. Jadi thermal management merupakan aspek yang krusial dalam high power LED.
Contoh hubungan suhu dan forward voltage

Mekanisme feedback positif di atas dapat diputus jika forward current bisa dijaga konstan (poin 3). Kondisi seperti itu bisa dicapai dengan menggunakan driver LED (yang memiliki output CC).

Perancangan driver LED

Pada intinya sebuah driver LED berfungsi menyediakan output DC dengan fitur constant current. Sumber daya driver bisa berasal dari listrik DC maupun AC. Driver yang bersumber dari AC (110V/220V) biasanya dinamakan offline converter atau AC-DC converter. Driver LED yang saya coba buat adalah jenis AC-DC converter dan yang berbasis switching mode. Dan akan menggunakan IC switching controller.

Pencarian IC switching controller untuk aplikasi AC-DC LED driver yang cocok memerlukan kesabaran dan ketilitian karena ada begitu banyak produsen dan tipe IC. Dan juga karena saya pemula dalam bidang ini. Jadi ini semacam proses mensortir opsi yang begitu banyak menjadi lebih sempit, lebih dikit, sampai akhirnya tinggal beberapa yang paling cocok. Ya kurang lebih kayak cari barang terbaik di Tokopedia: sortir harga terendah, lokasi yang sekota, bintang 4 ke atas, baca ulasan pembeli, baca deskripsi produk 😉. Balik ke pencarian IC driver LED, googling keyword ‘AC-DC IC LED driver’, ‘offline LED driver‘ menjadi andalan. Selain itu juga langsung visit ke website produsen chip: Analog, Maxim, Texas Instrument, Microchip, Richtek, Infineon. Di website produsen, biasanya IC driver LED masuk di kategori ‘power management IC‘, ‘power supply‘, atau semacamnya. Dari situ, biasanya masih akan ada begitu banyak tipe IC. Kita perlu mem-filter level tegangan input, tegangan output, arus output, MOSFET internal atau eksternal, topologi konverter, dsb, supaya pilihan IC nya mengerucut pada tipe yang sesuai kebutuhan kita. Di sini biasanya akan tersisa kurang dari 10 tipe IC. Kemudian dipelajari secara cepat datasheet tiap IC untuk melihat apakah benar-benar cocok.

Hasilnya ada beberapa kandidat: LT3799, MAX16801, LM3444, MXHV9910, HV9961, HV9931, RT7306, dan FL7733A. Sebagian besar IC tersebut mirip-mirip karakteristik nya, dan beberapa memiliki fitur yang saya cari: sedikit komponen eksternal, fungsi proteksi (over-voltage, over-current, short, over-temperature), dan power factor correction. Yang terakhir ini, PFC, menjadi poin penting karena driver LED yang akan dirancang harus memenuhi aspek EMC juga (standar IEC 61000-3-2). IC FL7733A menjadi pilihan yang menarik karena selain memiliki semua fitur tersebut, juga tersedia file simulasi rangkaian di software SIMetrix/SIMPLIS. Software yang baru kali ini saya dengar, ternyata mengklaim bisa lebih cepat 10-50x lipat daripada SPICE! Software ini memiliki specialty dalam simulasi switching mode power supply (SMPS). Sangat menarik untuk dipelajari dan didalami! Dan juga ada panduan desain FL7733A step-by-step. Sangat membantu bagi pemula. Jadi akhirnya saya memutuskan untuk lanjut dengan FL7733A.

FL7733A beroperasi menggunakan topologi flyback, sehingga sisi output DC nya electrically isolated dari sisi input AC. Jadi safety nya lebih baik. Selain itu, FL7733A merupakan kontroler jenis primary side regulation (PSR). Keunggulan PSR adalah monitoring arus dan tegangan output dilakukan dari sisi primer trafo flyback sehingga rangkaian lebih sederhana; tidak perlu menggunakan optocoupler seperti pada secondary side regulation.

Selain IC controller, pencarian komponen utama lainnya seperti MOSFET, dioda, inti ferit, CM choke, dan DM choke juga memerlukan ketilitian dalam membaca parameter-parameter dalam datasheet agar komponen yang dipilih memang memenuhi spesifikasi yang diinginkan.

Perancangan SMPS, termasuk driver LED, cukup kompleks karena melibatkan banyak parameter yang saling mempengaruhi satu terhadap yang lain. Perubahan satu parameter dapat merembet ke banyak parameter lain seperti menjatuhkan susunan domino. Ada parameter independen yang kita tentukan, dan ada parameter dependen yang dihitung berdasarkan nilai parameter independen. Tabel di bawah ini merupakan parameter yang kita tentukan:

Parameter independen

Proses perhitungan parameter dependen dan komponen yang digunakan dapat dilihat dalam artikel ini. Hasil nya adalah sebagai berikut:

Parameter dependen

Dan skematik rangkaian driver LED (termasuk filter EMC di antara input AC dan diode bridge) seperti di bawah ini.

Pembelian komponen

Komponen biasanya dibeli dari Tokopedia dan online marketplace lokal lainnya. Kalau tidak ada di sana, biasanya impor dari digikey.com atau sg.element14.com. Seingat saya, sejak 2014 di marketplace lokal, terutama Tokopedia, sudah mulai tersedia komponen-komponen elektronik yang cukup beragam. Jadi ini sangat memudahkan dalam pencarian dan pembelian. Dulu sebelum era online shop, Glodok menjadi andalan. Walaupun juga kadang susah untuk mencari komponen yang diperlukan. Belum lagi, habis waktu dan biaya untuk perjalanan ke sana. Oya, sebetulnya di era itu ada satu online shop elektronik yang juga jadi andalan: digiwarestore.com yang ada di Surabaya. Meskipun juga tidak bisa menandingi lengkapnya di Tokopedia, dkk.

Layout PCB

Kemudian, skematik rangkaian dibuatkan layout PCB nya. Saya pakai software Eagle. Layout PCB yang baik berpengaruh besar pada kinerja driver. Layout PCB yang buruk dapat menimbulkan noise electromagnetic interference (EMI) yang tinggi, menurunnya efisiensi, ripple output yang besar, atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Beberapa bacaan bagus tentang prinsip-prinsip desain layout PCB, grounding, dan efek EMC nya: a, b, c, d, e. Masih terus belajar, internalisasi dan menerapkan satu per satu prinsip desain yang baik. Beberapa kali melakukan revisi dan cetak PCB.

Cetak PCB di Spectra

Untuk pencetakan PCB, kami biasanya memakai jasa Spectra yang ada di Bandung. Harga nya terjangkau, hasilnya memuaskan. Tidak ada minimum order. Pengerjaan 5-7 hari. Info dari mimin nya, kemampuan Spectra: double layer, lebar trace terkecil 0.3mm, jarak antar trace jg terkecil 0.3mm, diameter via terkecil 0.6mm. Saya pernah bikin layout dengan lebar trace 0.25mm untuk IC MSOP 16 pin, hasilnya bagus juga. Sebagai gambaran harganya untuk 2pcs double layer, solder masking, lettering, ukuran 9.5cm x 8.5cm:

Kalau punya rekomendasi tempat lain untuk cetak PCB, boleh tinggalkan pesan di komentar ya. Thank you!

Pembuatan trafo flyback

Nah, pengalaman baru yang menarik bagi saya menggulung trafo flyback nya. Inti ferit yang digunakan adalah tipe PQ26/20 material N97 dengan spesifikasi sebagai berikut:

Bentuk fisik inti ferit PQ26/20

Material N97 yang digunakan memiliki nilai indutance factor AL=5150 nH dalam kondisi ungapped atau tanpa celah ketika inti dipasangkan. Sedangkan dari hasil perhitungan sebelumnya, diperlukan lilitan primer sebanyak 30 lilitan dan induktansi primer 195 uH. Namun dengan AL=5150 nH dan 30 lilitan akan menghasilkan induktansi 5150 nH x 302= 4.635 mH. Ini jauh lebih tinggi dari target desain 195 uH.

Karena itu, untuk menurunkan induktansi nya, kita perlu membuat gap pada inti ferit. Gap tersebut bisa dibuat dengan memberikan bantalan non-konduktif (plastik, karton, dsb) pada pertemuan kaki inti ferit. Cara ini mudah dilakukan. Namun beberapa sumber menyebutkan bahwa cara ini meningkatkan radiasi elektromagnetik (yang tidak kita inginkan) karena semakin besar medan elektromagnetik yang lolos ke udara melalui gap-gap terluar yang tidak terbungkus oleh lilitan.

Dua metode memberikan gap pada inti ferit

Cara kedua adalah dengan membuat gap hanya pada kaki tengah. Cara ini yang saya coba lakukan, yaitu dengan mengikis kaki tengah sedikit demi sedikit sampai didapatkan nilai induktansi 195 uH. Ternyata tidak mudah untuk mengikisnya karena pakai alat seadanya. Material ferit ini padat dan licin, namun juga getas. Pernah memecahkan beberapa inti 😞. Diamplas manual tidaklah mudah. Lumayan memakan waktu walau hanya mengikis 2-3 mm saja. Akhirnya saya coba kikis pakai bor mini. Maafkan serbuknya ke mana-mana 🤫

Untuk kawat enamel yang akan dipakai perlu dihitung kesesuaian diameter kawat, amperage kawat, tinggi bobbin, dan jumlah layer lilitan. Yang ini saya lupa catat di mana berapa ukuran diameter kawat yang dipakai 😜

Terukur induktansi primer 191.8 uH (inti ferit sudah dikikis). Test frequency diset pada 60 kHz (menyesuaikan frekuensi kerja driver)

Induktansi trafo diukur menggunakan RLC meter. Ketika inti ferit tanpa gap, induktansi primer terukur sebesar 4.57 mH, sedangkan prediksi dari perhitungan 4.63 mH. Cukup mendekati hasilnya 👌. Sedangkan inti ferit yg dikikis sedikit demi sedikit sampai didapatkan induktansi primer 191.8 uH.

Selain itu, diukur juga leakage inductance dengan cara mengukur induktansi primer saat lilitan sekunder di-short-kan. Saat lilitan sekunder di-short-kan, idealnya induktansi primer adalah nol. Jadi induktansi yang terukur ini adalah induktansi yang tidak terkopling antara lilitan primer dan sekunder. Terukur leakage inductance di primer sebesar 3.27 uH.

Leakage inductance di lilitan primer

Leakage inductance memiliki efek negatif berupa spike dan osilasi pada saat MOSFET switch dari on ke off. Saat MOSFET switching dari on ke off, harusnya semua energi magnetik yang ada pada lilitan primer ditransfer ke lilitan sekunder. Tapi karena leakage inductance ini tidak terkopel ke lilitan sekunder, energi magnetik dalam leakage inductance ini kehilangan jalan agar arusnya tetap mengalir (karena kepotong oleh MOSFET yang sudah switch off). Akibatnya energi magnetik tersebut terluapkan menjadi spike tegangan, berdasarkan hubungan V_L = L.\frac{di}{dt} . Nilai \frac{di}{dt} nya besar sekali karena arusnya berubah dari sekian ampere menjadi 0 dalam sesaat. Spike tegangan ini biasanya diredam dengan rangkaian snubber yang menyediakan jalur alternatif agar arus dari leakage inductance bisa tetap mengalir, sehingga \frac{di}{dt} bisa menurun secara perlahan, dan energi nya dibuang menjadi panas dalam resistor snubber. Jadi nilai leakage inductance ini harus sekecil mungkin.

Assembly Komponen

Setelah melalui proses panjang pencarian IC controller, desain rangkaian, cari komponen MOSFET, dioda, dll, mengikis inti ferit, menggulung trafo, layout PCB, cetak PCB, tunggu pembelian komponen, dan akhirnya pemasangan komponen pada PCB. Ada beberapa kali revisi PCB.

Pengukuran kinerja

Ini bagian yang paling ditunggu-tunggu karena excited dan harap-harap cemas semoga prototipe nya bekerja dengan baik (sebenarnya sudah siap juga kalau tidak berfungsi untuk pertama kali, karena ini yang lebih sering terjadi 😜). Tapi ini juga bagian yang bikin deg-deg an kalau bermain dengan switching mode power supply, termasuk driver LED. Kalau ada kesalahan (rangkaian, komponen, pengukuran, dll), kemungkinan terburuknya ada yang meletup. Bisa jadi komponen meledak atau MCB yang jeglek 💥 🔥. Harus hati-hati dalam penggunaan single-ended probe osiloskop (biasanya probe bawaan) untuk mengukur listrik AC, seperti yang saya ceritakan di sini.

Arus dan tegangan output

Menurut perhitungan, diperlukan current sense resistor (Rs) 0.212 Ω untuk menghasilkan constant current 1A. Namun pengukuran menunjukkan bahwa dengan Rs=0.212 Ω, arus keluaran hanya 0.80A. Ini mungkin terjadi karena rasio lilitan primer-sekunder yang realnya berbeda dari perhitungan. Jadi Rs diatur lagi sampai didapatkan arus keluaran 1A, yaitu saat Rs=0.184 Ω. Driver dapat menyalakan LED dengan arus 1A (deviasi 0.012A) dalam range tegangan 15.59V – 42.80V, atau setara dengan 5-14 buah LED disusun seri. Jadi tegangan output maksimum nya masih dibawah target desain yang seharusnya 45V. Perlu adjustment lagi.

Efisiensi daya

Efisiensi daya diukur dalam kondisi beban penuh dengan menggunakan dua untai LED paralel, yang mana setiap untainya terdiri dari 14 buah LED tersusun seri. Tegangan dan arus LED terukur 43V dan 1A. Data diambil setelah 15 menit menyala, menunggu sampai sistem sudah stabil. Pengukuran menggunakan power analyzer Hioki 3193-10. Daya input AC diukur pada channel-1, dan pada saat bersamaan daya keluaran DC diukur pada channel-2. Sehingga efisiensi dihitung sebagai rasio channel-2/channel-1.

Dengan resistor gate Rg sebesar 10 Ω, efisiensi mencapai 90.35%. Namun dengan Rg sebesar 10 Ω ini ternyata cukup kecil sehingga transisi switching MOSFET dari on ke off cukup tajam. Akibatnya, terjadi osilasi yang signifikan pada tegangan drain MOSFET. Dari segi EMC, hal ini termanifestasi menjadi tingkat conducted emission (CE) yang melebihi limit Standar CISPR 15. Transisi MOSFET dari on ke off dapat diperlambat dengan menaikkan Rg. Pada prototipe ini, dengan percobaan didapatkan bahwa Rg = 47 Ω menghasilkan CE di bawah garis limit standar. Namun, kenaikkan Rg ini menyebabkan penurunan efisiensi. Jadinya, maksimal di angka 88.55%.

Angka efisiensi tersebut di atas diukur saat filter EMC belum terpasang. Penggunaan filter EMC menurunkan efisiensi hingga 1%.

Power factor & current harmonics

Pengukuran faktor daya dan harmonik arus masih menggunakan power analyzer Hioki 3193-10. Faktor daya nya sangat memuaskan, yaitu berkisar 0.97-0.99. Total harmonic distortion nya kurang dari 5.5%. Juga harmonik orde 2-39 semuanya dibawah limit Standar IEC 61000-3-2 (salah satu standar acuan dalam aspek EMC). Faktor daya dan harmonik yang sangat baik ini bisa dicapai karena teknik switching yang digunakan IC FL7733A, yaitu dengan durasi ON yang konstan, frekuensi konstan, dan kapasitor input yang kecil. .

Conducted emission

Driver LED yang menggunakan prinsip switching ini sudah pasti menimbulkan efek samping berupa emisi gelombang elektromagnetik. Emisi yang tidak dikendalikan berpotensi mengganggu peralatan elektronik di sekitarnya. Emisi EM dapat berupa conducted emission (CE) yang merambat melalui kabel, dan radiated emission (RE) yang merambat melalui udara. Di sini saya hanya mengukur CE nya saja.

Driver LED ini termasuk kategori produk lighting. Standar EMC yang bisa diterapkan adalah CISPR 15, dengan frekuensi pengukuran 9kHz-30MHz. Pengukuran CE menggunakan alat LISN bisa dibaca di sini. Trace biru di bawah ini menunjukkan CE driver LED saat tanpa filter. Terlihat bahwa emisinya melebihi garis limit. Puncak tertinggi pada frekuensi sekitar 60kHz merupakan frekuensi switching dari driver. Sedangkan puncak-puncak lainnya adalah harmoniknya.

Biru: CE saat tanpa filter. Hitam: CE saat dengan filter

Detail perhitungan filter EMC untuk meredam emisi CE tersebut dapat dilihat di sini. Trace hitam dalam gambar di atas menunjukkan efek peredaman oleh filter yang terpasang. Namun, saya merasa perhitungan dalam artikel tersebut masih bisa di-improve lagi. Akan kembali ke sini bila ada update. Salah satu yang akan ditelisik lebih dalam lagi yaitu impedansi masukan dari driver yang masih belum diketahui. Sedangkan cara kerja filter berdasar pada prinsip impedance mismatch. Untuk mengetahui impedansi suatu rangkaian dalam kondisi menyala, perlu diukur dengan in-circuit vector network analyzer. Semoga nanti ada kesempatan mengakses alat ukur ini 🙏.

Refleksi

Ternyata switching mode power supply (SMPS) memang tidak mudah. Mungkin karena itu, waktu kuliah S1, subject ini tidak tersentuh sama sekali. Power supply yang diajarkan hanya sampai pada linear power supply, yang menggunakan trafo 50Hz yang berat itu dan linear regulator. Menurut kawan debat saya Mr. SWH, seharusnya SMPS diajarkan juga di kuliah S1 karena hari-hari ini hampir semua power supply adalah SMPS 😊.

Overall, petualangan membuat prototipe driver LED ini sangat seru, dan akhirnya melihat lampu LED bisa menyala 💡⚡ benar-benar ada kepuasan tersendiri. Tapi, memang masih banyak ruang untuk penyempurnaan, diantaranya peningkatan efisiensi dan minimalisir noise CE dari sejak sumbernya supaya ukuran filter bisa lebih kecil (misal dengan layout PCB yang lebih baik, teknik menggulung trafo, dsb.).

Leave a comment